BTM.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengawal penyusunan permohonan Kasasi atas putusan bebas terdakwa kasus pelecehan seksual UNRI, sebagai upaya memberikan keadilan dan pemenuhan hak kepada korban. Dalam mewujudkan kepentingan terbaik bagi korban, Rapat Koordinasi Terbatas dilaksanakan oleh KemenPPPA dengan melibatkan pihak APH yakni Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial, saksi ahli dan pendamping korban.
“Ketimpangan di Indonesia masih terjadi, khususnya terkait isu perempuan dan anak. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang masih subur di ruang publik termasuk di lingkungan perguruan tinggi yang memprihatinkan. Kekerasan di perguruang tinggi kerap terjadi dan tidak tertangani dengan semestinya,” ungkap Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan, Margareth Robin Korwa.
Margareth menegaskan dalam konteks kasus pelecehan seksual di UNRI, hakim melakukan diskriminasi terhadap saksi korban kekerasan seksual (L), padahal sudah sepatutnya saksi korban diberikan perlindungan sebagaimana mestinya. Selain itu, relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara juga patut dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara.
Margareth melanjutkan, dalam memutuskan perkara hakim dinilai masih “gagap gender”. Hal ini menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam menangani kasus kekerasan seksual kedepan.
Hal ini masih menjadi perjalanan panjang bagi kita untuk mendorong agar hakim-hakim dalam memutus perkara itu memakai perspektif yang jernih terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan. Banyak hakim yang masih kurang memahami atau mengenali perspektif gender, mereka memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang, namun tidak menggunakan rasa keadilan sebagai landasan filosofis di dalam memutuskan perkara. Perspektif gender sangat penting, khususnya dalam situasi meningkatkannya pelaporan terhadap kasus kekerasan seksual dan Rancangan Undang-ndang Tindak Pidana Kekrasan Seksual oleh parlemen 12 April lalu akan menjadi payung hukum untuk memberikän efek jera kepada pelaku kekerasan seksual.
“Kami mendorong reformasi hukum. Pertama, revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) agar diubah supaya lebih melindungi kepentingan korban. Serta, lewat Rancangan Undang-ndang Tindak Pidana kekerasan Seksual sebagai Lex specialist untuk penal law, sebagai payung Hukum dalam penangan kasus kekerasan seksual. Kasus yang dialami (L) adalah salah stau bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan di ranah hukum.
Menurut kami putusan itu mengingkari rasa keadilan. Karena dalam kasus ini, posisi L sebagai korban kekerasan seksual tidak diungkapkan di pengadilan dan tidak digunakan hakim untuk mengevaluasi keputusan,” ungkap Margareth.
Margareth juga mengutarakan terkait dengan kekurangan alat bukti saksi dalam kasus UNRI. Sudah sepatutnya majelis hakim menggunakan tafsir dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa saksi tidak harus melihat, mendengar dan mengalami tindak pidana. Karena dalam kasus pencabulan dan persetubuhan hampir mustahil ada saksi yang melihat dan mendengar peristiwa pidana kecuali saksi korban.
“Setelah kami mendapatkan informasi dari kejaksaan, disampaikan bahwa putusan kasus pelecehan di UNRI membebaskan pelaku dikarenakan alat bukti yang memang minim. Disini diperlukan sensitifitas dari hakim yang memiliki keyakakinan. Sedangkan untuk tugas jaksa adalah agar terdakwa yang dituntut terbukti bersalah, dan hal tersebut sudah dilakukan dengan baik. Pelecehan dengan sentuhan dan verbal tersebut terkadang tidak ada alat bukti. Hebat sekali jaksa dengan bukti yang minim berani menyampaikan tuntutan kepada hakim,” ungkap Komisioner Komisi Kejaksaan, Ressi Anna.
Ressi Anna menegaskan, meski putusan telah ditetapkan namun proses penyusunan Kasasi harus dikawal sebaik mungkin agar mendapatkan hasil yang terbaik untuk keadilan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan.
Menanggapi hal tersebut, saksi ahli, Ahmad Sofian menyayangkan tafsir klasik yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Riau dalam memberikan putusan. Hal tersebut dikarenakan tafsir klasik terbatas pada ancaman kekerasan fisik saja.
“Seharusnya hakim menggunakan tafsir hukum progresif yang lebih melihat perkembangan terbaru doktrin hukum pidana yang memberikan tafsir atas unsur-unsur dalam tindak pidana. Dalam tafsir hukum progresif, tafsir atas unsur tertentu didasarkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan juga perkembangan teori-teori, sehingga mampu menafsirkan ancaman kekerasan termasuk didalamnya ancaman kekerasan fisik dan relasi kuasa, ” ungkap Ahmad Sofian. ( BTM /r)