Oleh karena itu kalau masyarakatnya sedang kesulitan maka dia harus ikut merasakan, lalu ikut mencari solusi. Minimal dengan menenangkan hatinya, dan kalau bisa mencarikan jalan keluar bersama-sama lewat berita yang memberi harapan, contoh orang atau pihak yang mampu lepas dari penderitaan dengan cara-cara tertentu.
Keberhasilan pegawai kena PHK yang sukses menjadi wiraswasta mandiri, adalah contoh berita positif, yang membuat mantan karyawan menempuh upaya sejenis.
Media memberikan pilihan-pilihan, alternative, dari kebuntuan di masyarakatnya. Ketika Orde Baru berkuasa dan saluran aspirasi macet, banyak media di Indonesia yang memuat berita tentang praktik demokrasi di negara lain.
Selain memberi harapan pada masyarakat yang tidak berdaya, berita itu sekaligus menyindir kekuasaan agar memberi kelonggaran pada warganya.
Pertanyaannya sekarang, apakah wartawan kita memiliki kompetensi untuk membuat berita yang “solutif”, berita yang berempati terhadap penderitaan masyarakatnya, berita yang membuat pembacanya lega dan optimistis? Apakah wartawan masih membaca buku-buku di kepustakaan atau membaca hati masyarakat dengan sering terjun ke lapangan dan mendengar apa yang mereka keluhkan dan harapkan?
Hanya wartawan dari media tertentu yang masih melakukannya. Wartawan pada umumnya makin malas membaca dan turun ke lapangan. Undang-Undang Pers, Kode Etik Jurnalistik dan turunannya saja mungkin hanya sekali dibaca yakni sewaktu ikut uji kompetensi. Apalagi buku-buku pengetahuan untuk mendukung tugas jurnalistiknya. Paling juga googling, atau bertanya, yang berakibat pemahaman tentang suatu hal hanya di permukaan saja.
Ke lapangan menjadi sesuatu yang langka, kecuali kalau ke kantor humas dianggap lapangan. Press release dari humas pun kini sudah dikirimkan via emal, atau WA, jadi wartawan tinggal menyalinnya—kadang masih dengan judul yang sama—lalu menurunkan berita itu dengan mencantumkan namanya.
Padahal sebelum menuliskan beritanya, seorang wartawan mestinya bertanya pada diri sendiri dulu, untuk apa berita ini saya tulis. Jawabnya tentu, untuk publik. Maka berita itu haruslah sebesar-besarnya diupayakan bermanfaat bagi publik. Publik mana? Tentu saja publik yang ada di sekeliling kita, dari lingkungan sampai ke seluruh masyarakat itu sendiri. Semangat menulis untuk publik ini akan memberikan darah segar, tapi juga empati, ketika wartawan menuliskan kata demi kata, kalimat demi kalimat. Karena dia tahu karya jurnalistiknya itu akan memberikan kesenangan, kegembiraan, inspirasi, bagi sasaran yang ditujunya.
Wartawan tidak menulis untuk memuaskan dirinya sendiri. Tidak memuaskan orang perorang, untuk si narasumber atau kelompok tertentu. Atau entitas bisnis tertentu yang telah memberikan keuntungan, manfaat bagi wartawan atau per situ. Atau yang mengirimkan rilis demi rilis dan di akhir bulan memberikan bayaran tertentu.***