BTM.CO.ID, BATAM – Jadwal wawancara dengan Guru Besar Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Wihana Kirana Jaya, menyangkut posisi strategis Pulau Nipa, Batam, Kepulauan Riau, sempat bergeser beberapa kali. Ini adalah wawancara “pamungkas” tentang pengembangan ekonomi di pulau etalase Indonesia di perairan internasional Indonesia – Singapura – Malaysia.
Sejatinya wawancara dilakukan pukul 14.00 WIB pada Kamis 16 Maret 2023, tapi baru bisa terlaksana sekitar pukul 18.30 WIB, selepas magrib di Kawasan Jakarta. Pergeseran ini bukan karena Prof Wihana tidak on time, tapi jadwalnya terlalu padat dan terhadang rimba kemacetan Jakarta.
Tiba mengenakan baju batik warna magenta, Wihana yang humble person, ditemani seorang koleganya, langsung menyapa media ini. Gestur dan senyumnya menyiratkan persahabatan dan kehangatan pada komunikasi pembuka.
Staf Ahli Menteri Perhubungan bidang Ekonomi dan Investasi Transportasi ini pun langsung membangun keakraban. “Wah, maaf, agak terlambat nih,” sapa Prof Wihana ramah, sambil menyodorkan tangan kanannya dan berkenalan.
Di ruang pendingin yang jembar, disuguhi dua mangkok bakso dan goreng pisang parang, Prof Wihana mulai mengurai diskusi tentang konsesi di Pulau Nipa. Ia meminta layar televisi yang menempel di dinding, persis di depan ia duduk, dinyalakan dan pertanyaan tertulis yang sudah lebih awal dikirim, ditampilkan dilayar itu. “Biar kita diskusikan satu persatu,” kata Prof Wihana santai.
Sambil sesekali “mengulek” bakso jumbo dalam mangkok dengan sendok di tangan kanannya, guru besar ekonomi ini tampak begitu cair dan mengalir membedah posisi ekonomi, politik, bahkan selintas pertahanan di Pulau Nipa dari ruang baca pikirannya yang renyah.
Ini dia jawaban “paripurna” tentang konsesi Pulau Nipa yang dikirim Prof Wihana lewat pesan whatsapp dan didiskusikan hampir satu jam lebih.
Pulau Nipa dikembangkan menjadi kawasan ekonomi berbasis pertahanan (terkait integritas wilayah dan Zona Ekonomi Ekslusif) dan konsep ekonomi ‘berdikari’ yang secara substansial berbasis pada kemampuan dan kekuatan sendiri (self-help) dan kedaulatan nasional sepenuhnya atas wilayah darat, laut, dan udara (termasuk Flight Information Region) pada kawasan itu. Dalam perspektif ekonomi ‘berdikari’ ini, investasi asing diposisikan hanya sebagai pelengkap.
Pembangunan Pulau Nipa juga dalam konteks paradigma ‘membangun dari pinggiran’, yakni wilayah 3TP (terdepan, terluar, tertinggal, dan perbatasan). Dalam hal ini Pulau Nipa sebagai wilayah 3T dan sekaligus perbatasan, harus di(re)persepsikan sebagai etalase negara sehingga perlu dibangun sarana dan prasarana yang memadai.
Sebagaimana posisi pulau Batam, posisi pulau Nipa meskipun hanya pulau kecil, kawasan ini sangat strategis, terutama sebagai salah satu titik penentu batas ZEE (zona ekonomi eksklusif) 12 mil, karena merupakan salah satu pulau terdepan; terluar. Pulau ini seperti kita ketahui telah direklamasi dari semula yang luasnya hanya 0,5 hektar menjadi 60 hektar lebih. Pulau ini bermakna signifikansi jamak, yakni dari perspektif pertahanan, batas wilayah terluar (titik penentu ZEE), konservasi, maritim, dan ekonomi.
Dari perspektif ekonomi, posisi pulau Nipa berada pada selat internasional yang ramai dengan lalu lintas perdagangan, dan kita berhak serta perlu memanfaatkan posisi srategis ini untuk kepentingan ekonomi, terutama dalam konteks ‘growth triangle’ Indonesia (Kepri) – Singapura – Malaysia. Dalam konteks ini terdapat aspek komplementaritas dan kompetisi sekaligus.
Dari sisi komplementaritas, misalnya, pelabuhan Pulau Nipa dapat menjadi tempat labuh jangkar sementara sambil menunggu masuk ke pelabuhan Singapura yang kesibukannya amat tinggi. Sementara dari perspektif kompetisi contohnya adalah layanan pengisian bahan bakar kapal (refueling/bunkering services), pembersihan kapal, layanan air tawar untuk kapal, tugboat, ship to ship, dan lainnya. Terdapat peluang untuk menarik investor, termasuk dari Singapura. Pemanfaatan Pulau Nipa untuk kepentingan ekonomi akan berarti penciptaan lapangan kerja, devisa negara, PNBP, dan lainnya.
Kompetisi bisnis merupakan konsekwensi logis karena berhadapan langsung dengan pasar internasional. Konsesi BUP yang dimiliki oleh PT. Asinusa itu sendiri sudah merupakan ‘barrier to entry’ bagi para pesaing dari Singapura jika ingin menguasai bisnis kepelabuhanan di Pulau Nipa. Namun, mungkin ada celah kerja sama , yakni dengan menawarkan kerja sama investasi dalam skema antarbadan usaha, sepanjang kerja sama itu saling menguntungkan.
Dengan kerja sama ini, mungkin saja sebagian kegiatan layanan kepelabuhanan di pelabuhan Jurong, yang cenderung ‘overloaded’, dapat dllimpahkan ke Pulau Nipa. Dengan kerja sama, skala bisnis dapat diperluas. Strategi yang diterapkan oleh Kemenhub adalah tetap konsisten dengan konsesi yang telah diberikan ke PT. Asinusa selama 24 tahun dan terus mendorong peningkatan kualitas layanan yang disediakan oleh PT. Asinusa di Pulau Nipa.
Dalam perspektif SWOT (Strength – Weakness – Opportunity – Threats) ‘ganggguan’ dari para broker itu merupakan upaya untuk menggerus kepercayaan para investor (potensial) dengan mengeksploitasi kelemahan-kelemahan yang ada pada PT Asinusa dan kelengkapan infrastruktur secara umum.
Oleh karena itu setiap kelemahan atau ‘loopholes’ segera dilakukan perbaikan. Misal dalam aspek SDM, peningkatan skill profesional dan juga kemampuan berbahasa Inggris. Dari aspek infrastruktur temasuk kapasitas dermaga, kelistrikan, teknologi informasi, floating storage unit (FSU), cold storage (untuk ikan segar, bahan-bahan pangan) dan lainnya. ‘Gangguan’ dari para broker tidak perlu disikapi secara berlebihan.
Secara prinsip kawasan pulau Nipa dibagi menjadi zona militer, zona ekonomi, dan zona konservasi. Dalam konteks ekonomi dan bisnis, yakni pada kawasan untuk kegiatan ekonomi atau bisnis, infrastruktur transportasi terbatas untuk para penumpang tujuan khusus (investor) dapat dikembangkan termasuk helipad dan landasan seaplane. Sementara dermaga, dalam jangka pendek dan menengah, cenderung untuk aktivitas ‘ship to ship’, layanan refueling (bunkering services), pembersihan kapal, dan lainnya.
Fasilitas akomodasi terbatas bisa diselenggarakan oleh PT. Asinusa jika dipandang menguntungkan. Pengembangan sarana dan prasarana transportasi tentu dengan mempertimbangkan ‘potential demand’, misalnya kemungkinan pengembangan pariwisata, budidaya ikan kerapu, pengembangan kawasan permukiman terbatas (untuk para pekerja dan keluarganya) dan lainnya.
Namun pengembangan pariwisata dan permukiman, kendati dalam skala kecil, harus tetap mempertimbangkan kapasitas serta ketersediaan air bersih dan prasarana dasar lainnya.
Kehadiran PT. Asinusa memberikan sejumlah manfaat. Manfaat tersebut meliputi penciptaan lapangan kerja atau penyerapan tenaga kerja lokal, memberikan pemasukan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) ke pemerintah, dan memperbaiki neraca pembayaran melalui layanan kepelabuhanan pada kapal-kapal asing.
Selain itu dapat menarik sektor-sektor hulu termasuk supplier air bersih/air tawar, supplier makanan dan minuman, bahan-bahan pangan, dan logistik lainnya.
Kehadiran ‘negara’ atau ‘Pusat’di Pulau Nipa adalah melalui kementerian-kementerian, seperti Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi , Kementerian Pertahanan/Keamanan, khususnya TNI-AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan (termasuk KSOP Tanjung Balai Karimun), Kementerian PUPR (untuk pengembangan desain dan konstruksi inrastruktur), pihak swasta (PT Asinusa) dan BUMN (Pelindo).
Instansi-instansi Pusat ini tentu harus besinergi dengan pemerintah Provinsi Kepri, dan Kota Batam. Kehadiran pemerintah Pusat di pulau Nipa menstimulasi pengembangan infrastruktur, seperti pelabuhan, listrik, telekomunikasi, teknologi informasi, lahan konservasi, penyediaan air bersih, dan lainnya. Pada gilirannya pengembangan infrastruktur ini mendorong pengembangan investasi, bisnis, dan ekonomi.
Sebagai BUP, penyelenggaraan jasa kepelabuhanan berkaitan dengan supply chain atau logistic. Dalam jangka panjang, dermaga pulau Nipa dimungkinkan dikembangkan secara terbatas (karena keterbatasan lahan) menjadi pelabuhan ekspor/impor dan bongkar/muat, mungkin untuk komoditas tertentu saja.
Sebagai BUP, PT. Asinusa adalah mitra kerjasama dan pemegang konsesi. Dengan demikian kerjasama pemerintah–Badan Usaha (KPBU) ini berskema konsesi. Untuk melaksanakan kegiatan layanan kepelabuhanan sesuai konsesi, diperlukan modal/investasi, terutama untuk pengadaan sarana/prasarana (Capital Expenditure/CAPEX), termasuk kapal tunda (tugboat), AIS (Automatic Identification System), dan lainnya.
Selain itu modal kerja terutama untuk biaya operasional dan pemeliharaan. Secara umum skema KPBU lainnya antara lain Kontrak Operasi dan Pemeliharaan (O&M), Build-Operate-Transfer (BOT), Design-Build-Finance-Maintenance), dan seterusnya. (BTM /j)