BTM.CO.ID, BATAM – Ada teman bertanya, “Bang, aneh nggak kalau ada wartawan mau memenjarakan wartawan?”
Seketika saya jawab, “Aneh sekali. Terutama kalau dia sudah wartawan bersertifikat kompetensi. Seharusnya dia menghayati kode etik, Undang-Undang Pers. ”
Salah satu tonggak sejarah dari hasil reformasi yang menghasilkan Undang-Undang tentang Pers No.40/1999 adalah dihilangkannya pemidanaan penjara bagi wartawan, dalam hal ini penanggung jawab media, yang bertanggungjawab atas semua ini media. Undang-undang yang dihasilkan untuk mendobrak kriminalisasi pers, khususnya karena kepentingan politik rezim Orde Baru, mengatur mekanisme hak jawab.
Pers dibebaskan untuk melakukan kegiatannya, tetapi kalau pers keliru, melanggar kode etik, dia wajib memberi hak jawab sebagai bagian dari akuntabilitas pers, sebagai pertanggungjawaban ke publik.
Jadi apabila ada orang yang merasa dirugikan dengan produk jurnalistik, silakan meminta hak jawab ataupun mengadu ke Dewan Pers.
Betul banyak anggota masyarakat yang tidak tahu isi Undang-Undang Pers meskipun usianya sudah 22 tahun, tapi itu berlaku. Lho kan hak warga negara untuk menggugat pers? Betul, tetapi kalau semangat reformasi yang kini dia nikmati, jangan mau ambil enaknya saja.
Anda yang hidup di era Soeharto pasti tahu. Beda pendapat saja bisa diteror. Mengkritik aparat keamanan saja, bisa diinterogasi atau ditahan berhari-hari tanpa alasan.
Media massa selalu ditelpon kalau ada informasi yang dianggap bakal merugikan, mau diberitakan. Sensor, breidel, intimidasi, kekerasan, oleh aparat keamanan, luar biasa banyaknya.
Kalau saat ini Soeharto masih berkuasa, isi WA Group, Intagram, Twitter, pasti akan sopan, berbahasa baik. Atau setiap hari ribuan orang dibawa untuk diinterogasi.
Kemerdekaan pers yang ideal tentulah kebebasan yang dalam koridor etika, sejalan dengan Undang-Undang Pers dan meskipun ada banyak penumpang gelap yang memanfaatkan pers untuk kepentingan dirinya, itu merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat.
Peran serta itu diwujudkan dalam bentuk kontrol, mengingatkan apa bila ada yang keliru, ikut meningkatkan kapasitas media dan wartawan sesuai posisinya.
Pejabat misalnya jangan ingin mengkooptasi media dan wartawan dengan uang, kemitraan, apalagi menggertak dan melakukan kekerasan.