BTM.CO.ID, BATAM – Sajidah Decha Puspa dan Raja Geyza Saputra akan melangsungkan pernikahan pada Jum’at, 4 November 2022 mendatang.
Sajidah merupakan putri pasangan H. Samsul Bahri dan Hj. Artita. Sedangkan Raja Geyza merupakan putra dari pasangan Raja Abdul Gani dan Sri Sumarni.
Diketahui Samsul Bahri dan Raja Abdul Gani merupakan sama-sama tokoh masyarakat di Kecamatan Nongsa. Samsul Bahri bertempat tinggal di Kampung Melayu, dan Raja Abdul Gani di Tanjung Memban.
Jelang pernikahan kedua anak tokoh masyarakat Nongsa tersebut sejumlah persiapan pun mulai dilakukan, terutama di rumah calon mempelai wanita di Kampung Melayu, Batubesar, Nongsa. Selasa (1/11/2022) pagi, digelar prosesi adat Menggantung-gantung.
Dalam prosesi Menggantung-gantung anggota keluarga inti berkumpul di dalam rumah. Selanjutnya perwakilan keluarga menyampaikan maksud dan tujuan keluarga pada tamu undangan yang hadir. Setelah itu dilakukan prosesi Tepuk Tepung Tawar di empat punjuru rumah oleh anggota keluarga. Kemudian ditutup oleh do’a selamat yang dipimpin seorang pemuka agama atau ustadz.
Dato H. Muhammad Zen, tokoh adat yang memimpin prosesi adat Melayu tersebut mengatakan prosesi adat ini memang
sudah lama ditinggalkan. Banyak yang tak mengetahuinya. Padahal banyak nilai, makna, dan filosofi yang terkandung dalam prosesi adat tersebut.
Dijelaskan Muhammad Zen yang juga sebagai pengurus di LAM Batam tersebut prosesi Menggantung-gantung sebagai tanda akan digelarnya hajatan atau suatu pernikahan. Pada zaman Kesultanan disebut juga dengan meletak kerja. Dulu disimbolkan dengan menggantung tabir atau tirai. Hal tersebut karena zaman dahulu rumah-rumah tak memiliki plafon. Selain itu dalam prosesi tersebut juga sekaligus menunjuk seseorang sebagai penanggung jawab utama acara atau Penghulu Balai.
“Dulu sebelum pasang tenda seperti sekarang ini dilakukan prosesi Menggantung-gantung ini,” kata Muhammad Zen yang sehari-hari bekerja di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Batam tersebut.
Dalam prosesi Menggantung-gantung juga dilakukan prosesi adat Tepuk Tepung Tawar, minimal di empat penjuru rumah. Prosesi ini memiliki makna penyucian pada tempat yang akan digunakan sebagai tempat hajatan.
“Yang melakukan Tepuk Tepung Tawar harus ganjil. Tadi empat orang dari keluarga dan satu dari tokoh agama sebagai penutup,” ungkapnya. Usai prosesi Tepuk Tepung Tawar acara kemudian ditutup dengan do’a selamat.
Usai prosesi Menggantung-gantung, sebelum akad nikah dan pesta pernikahan akan dilakukan juga Do’a Kenduri Arwah, Adat Berandam, Adat Mandi Tolak Bala, Adat Malam Berinai, Pengajian Pasca Pernikahan, Akad Nikah, Resepsi Pernikahan, dan ditutup dengan Adat Mandi Sampat.(BTM /ara)