Oleh: Dr. Julizar Idris, M.Si
Peneliti dan Dosen Administrasi Publik
BTM.CO.ID – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto baru saja memulai masa kerjanya dengan semangat membangun kembali fondasi negara melalui agenda-agenda strategis nasional. Di tengah optimisme publik yang terus meningkat, serangan terhadap tokoh-tokoh penting di sekitar Presiden pun mulai bermunculan, bukan tanpa maksud. Tuduhan yang dilayangkan terhadap Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, terkait keterlibatannya dalam kegiatan judi online di luar negeri, merupakan satu dari rangkaian strategi sistematis yang patut dikritisi dari sudut pandang administrasi publik dan tata kelola pemerintahan.
Dalam literatur administrasi publik modern, khususnya dalam perspektif governance and policy implementation, keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh kapasitas birokrasi atau kekuatan lembaga eksekutif semata. Melainkan juga sangat ditentukan oleh kohesivitas antara pemimpin eksekutif dan para policy actors yang berada dalam lingkaran koalisi kekuasaan. Aktor-aktor ini tidak hanya berperan sebagai penyambung visi kebijakan ke dalam sistem kelembagaan, tetapi juga sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Ketika aktor-aktor strategis ini dilemahkan secara sistematis, maka yang sesungguhnya diserang adalah kemampuan pemerintah dalam menjalankan agenda perubahan.
Sufmi Dasco Ahmad adalah satu dari sekian tokoh penting dalam lingkaran kekuasaan yang memiliki rekam jejak panjang dalam mendukung transformasi kelembagaan di parlemen. Perannya di DPR RI, khususnya sebagai Ketua Harian DPP Partai Gerindra dan salah satu figur sentral dalam komunikasi antara eksekutif dan legislatif, menjadikannya sebagai figur penting yang secara strategis berada di posisi persimpangan antara kebijakan dan kekuatan politik. Serangan terhadap Dasco melalui pemberitaan media tertentu yang mengaitkan namanya dalam aktivitas ilegal tanpa konfirmasi dan data yang valid, merupakan bentuk serangan terhadap struktur kekuasaan yang lebih besar.
Di sini perlu kita hadirkan konsep policy sabotage, sebagaimana dikembangkan dalam kajian kebijakan publik. Strategi ini dilakukan oleh aktor-aktor eksternal yang tidak mampu menyerang langsung pada pusat kekuasaan—dalam hal ini Presiden Prabowo Subianto yang memiliki tingkat kepuasan publik yang sangat tinggi—lalu menggunakan jalan pintas dengan menghancurkan kredibilitas orang-orang di sekitarnya. Taktik ini bukanlah hal baru. Dalam praktik global, kita mengenal apa yang disebut decapitation strategy, yaitu menyerang tokoh-tokoh kunci yang dianggap menjadi fondasi utama kekuatan politik atau kebijakan.
Jika kita meninjau pendekatan public choice theory, maka serangan seperti ini bukanlah kejadian yang netral. Ada aktor-aktor rasional yang sedang berupaya menggeser peta kekuasaan dengan cara menyerang individu kunci dalam sistem. Kita tentu tidak bisa mengabaikan fakta bahwa media yang memberitakan tuduhan terhadap Dasco pernah dinyatakan bersalah pada tahun 2003 karena melakukan pencemaran nama baik dan diharuskan membayar ganti rugi ratusan juta rupiah kepada seorang pengusaha nasional. Lebih jauh lagi, keterlibatan media ini dalam jaringan pendanaan global seperti Media Development Investment Fund (MDIF)—yang diketahui menerima suntikan modal dari George Soros melalui Soros Economic Development Fund—menguatkan asumsi bahwa ini bukan sekadar kesalahan editorial biasa, tetapi bagian dari agenda yang lebih besar dan terstruktur.
Dalam pendekatan geopolitik administrasi publik, seperti dijelaskan oleh Fred Riggs dalam konsep prismatic society, dimana karakteristik masyarakatnya adalah masyarakat yang sedang bertansisi dari tradisional ke modern, negara-negara berkembang seperti Indonesia rentan terhadap intervensi asing, baik dalam bentuk investasi modal, lembaga internasional, maupun media massa. George Soros, misalnya, tidak hanya dikenal sebagai pelaku ekonomi global, tetapi juga memiliki rekam jejak panjang dalam memengaruhi perubahan politik di berbagai negara melalui pendanaan terhadap organisasi media dan LSM. Ketika salah satu medianya menargetkan tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, hal ini tidak bisa dibaca sebagai insiden biasa, melainkan bagian dari strategi soft power subversion.
Apa yang patut disoroti lebih jauh adalah bagaimana publik diarahkan untuk meragukan kredibilitas tokoh nasional melalui informasi yang belum terbukti kebenarannya. Character assassination semacam ini bukan hanya melukai pribadi seseorang, tetapi juga menciptakan instabilitas politik jangka pendek yang berbahaya bagi pembangunan nasional. Dalam kerangka policy cycle, instabilitas ini dapat mengganggu fase-fase penting seperti formulation, legitimization, dan implementation dari kebijakan-kebijakan strategis yang tengah disiapkan pemerintahan saat ini.
Jika kita menilik roadmap pemerintahan Presiden Prabowo, terdapat sejumlah inisiatif besar yang tengah berjalan, mulai dari ketahanan pangan (food estate), hilirisasi industri, program swasembada energi, hingga integrasi ekonomi nasional ke dalam blok BRICS. Semua program tersebut membutuhkan kolaborasi antara pemerintah dan DPR sebagai representasi politik rakyat. Ketika hubungan ini diganggu melalui pelemahan figur seperti Dasco, maka ada risiko gangguan serius terhadap kesinambungan kebijakan publik.
Dalam studi administrasi publik, kohesi politik dan ketenangan dalam arena legislatif adalah prerequisite dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Tanpa itu, pemerintah akan selalu disibukkan dengan manuver-manuver politik yang melelahkan dan menjauhkan fokus dari pelayanan publik. Maka, serangan terhadap tokoh seperti Sufmi Dasco Ahmad harus dibaca sebagai bentuk pelemahan terhadap struktur pendukung pemerintahan. Dan secara tidak langsung, ini juga upaya sistematis untuk menggoyang legitimasi program kerja Presiden Prabowo melalui jalur non-formal.
Sebagai akademisi, saya mengajak kita semua untuk lebih cermat melihat fenomena semacam ini. Literasi publik harus ditingkatkan, agar masyarakat tidak mudah termakan oleh opini yang dibangun tanpa dasar empirik. Sebuah tuduhan dalam negara hukum haruslah dibuktikan, bukan dimanipulasi melalui framing media. Dan lebih dari itu, kita harus berani mengkritisi media yang sudah terbukti menjadi alat kepentingan asing demi menjaga kedaulatan informasi nasional.
Akhir kata, mari kita jaga fondasi pemerintahan yang tengah bekerja keras membangun negeri. Presiden Prabowo tidak akan mungkin bekerja sendiri. Ia membutuhkan tim yang solid, mitra politik yang loyal, dan tokoh-tokoh kuat yang bisa menjaga api perubahan tetap menyala. Jangan biarkan satu demi satu tokoh bangsa dihancurkan hanya karena kita lalai membaca taktik lawan. Demokrasi sejati hanya bisa berdiri di atas kebenaran, bukan di atas fitnah yang dibungkus opini. ( Btm /***)